Seringkali kita masih dibingungkan antara perbedaan peranan dalam kepemimpinan dan manajemen. Singkatnya, pemimpin itu melakukan hal yang benar (do the right things), sedangkan manajer itu melakukan hal tersebut dengan benar (do things right). Dua peranan ini saling melengkapi dan sama-sama dibutuhkan. Ini adalah rangkaian seri tulisan pelatihan leadership skill. Semoga bermanfaat untuk Anda.
Untuk menjadi pemimpin yang lebih baik, kita bisa belajar fokus pada tiga hal. Fokus pertama, dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu. Kemudian ke lingkaran yang lebih luas, yaitu tim yang ada, baik dalam satu fungsi bagian yang sama, sampai antar bagian yang berbeda. Yang terakhir, hingga lingkaran terluar, yaitu organisasi secara keseluruhan, termasuk hubungan antar organisasi. Lingkaran yang paling dalam menjadi dasar untuk mengembangkan lingkaran kepemimpinan yang lebih luas. Apabila yang di dalam belum efektif, akan sulit mengembangkan kompetensi yang di luar. Lebih jelasnya lihat gambar ketiga fokus lingkaran kompetensi seorang pemimpin.
Self Mastery Leadership
Bagian pertama adalah mengembangkan kompetensi di dalam diri kita sendiri secara pribadi. Sebelumnya sudah disinggung, yakni kesadaran dan pemahaman atas diri sendiri merupakan dasar untuk mengembangkan diri kita. Di sini berarti mengembangkan pula kemampuan untuk menanggapi atau memberikan respon atas apa yang terjadi di dalam diri. Semakin kita mengenal diri, semakin tahu apa kelebihan dan kekurangan diri kita.
Untuk menjadi pemimpin kita harus merasakan dulu, bagaimana menjadi pengikut (follower). Kita merasakan berada di posisi pengikut, untuk mendukung pencapaian tujuan bersama yang dikomunikasikan oleh pemimpin kita.
Di sini kita juga merasakan bagaimana mengalami perubahan yang dibutuhkan. Akan lebih mudah bagi kita, sebelum mengharapkan orang lain untuk berubah, kita sendiri menjadi contoh perubahan itu sendiri. Menjadi teladan.
Ibaratnya, perubahan itu seperti kita sedang naik permainan rollercoaster. Pada saat mulai ada perasaan was-was dan takut, kemudian kereta mulai meluncur ke bawah. Selama proses meluncur, bercampur aduk perasaaan kaget dan takut. Lalu, kereta mulai bergerak naik dan kita mulai agak lega dan tenang. Demikian pula dalam setiap siklus perubahan akan melewati fase-fase yang serupa.
Perubahan itu terdiri dari 4 tahap seperti pada gambar ‘rollercoaster of change’ tersebut:
Shock & denial
Depression & anger
Hope & adjustment
Rebuilding
Pertama kita akan merasakan kaget dan ada penolakan terhadap perubahan yang ada. Tahap selanjutnya kita akan merasakan marah dan mungkin depresi karena perubahan itu. Kemudian kita punya dua pilihan, yaitu tetap bertahan atau menyerah dan keluar. Inilah saat kita berada di persimpangan jalan. Kalau kita tetap bertahan, kita naik ke tahap berikutnya, yaitu ada penyesuaian-penyesuaian dan harapan akan perubahan tersebut. Akhirnya kita masuk ke tahap pemberdayaan, ketika kepercayaan diri mulai terbangun kembali.
Yang perlu kita lakukan pada setiap tahapan perubahan tersebut adalah sebagai berikut:
Shock & denial Di sini persiapan dilakukan terlebih dahulu sebelum menerapkan perubahan yang ada. Siapkan informasi yang berlimpah, pendidikan, pelatihan, dan mentor yang dibutuhkan. Kemudian tujuan yang hendak dicapai harus sangat jelas. Tujuan yang jelas akan memberikan harapan yang jelas. Sambil membangkitkan kebutuhan akan rasa keterdesakan untuk segera berubah. Mengajak orang dalam proses perencanaan juga akan meningkatkan rasa memiliki (sense of ownership) terhadap perubahan yang ada.
Depression & anger Ketika melewati fase ini, solusi yang bisa kita lakukan adalah berempati dan mendengarkan semua kegelisahan mereka. Sambil terus dijelaskan kenapa perubahan itu diperlukan. Upaya lain, dengan membuat proses dalam langkah-langkah yang sederhana dan pasti, disertai skedul (kerangka waktu) yang jelas.
Hope & adjustment Fase ini terjadi ketika sudah bisa melibatkan diri dalam perubahan yang ada, sehingga peranan baru dari tiap orang perlu diperjelas. Sambil meminta komitmen penuh mereka untuk mewujudkan tujuan yang ingin dicapai. Yang penting disini jangan dilupakan faktor ‘WIIFM’, yakni: ‘what’s in it for me’. Memahami apa ‘keuntungan’ yang didapat apabila mau mengikuti perubahan yang ada. Ini seringkali menjadi pendorong yang mempercepat perubahan yang dibutuhkan. Semakin kita bisa mengkaitkan faedah yang didapat dari perubahan yang terjadi, semakin mau orang terlibat dalam perubahan itu.
Rebuilding Orang yang telah berkomitmen terhadap tujuan perlu diberdayakan. Lakukan pendelegasian sesuai kemampuan tiap orang yang ada. Sambil terus memonitor dan memberikan umpan balik, atas kemajuan yang dicapai. Berikan penghargaan walaupun itu small win, karena akan memupuk kepercayaan diri.
Intinya yang perlu dilakukan adalah melakukan komunikasi yang intens dalam setiap proses yang dibutuhkan. Sedikit demi sedikit lebih baik, daripada sekaligus melakukan perubahan besar. Seperti nasihat bijak,“Better the devil you know, than the devil you don’t know”. Biasanya orang tidak suka diberi kejutan, apalagi yang terkait langsung dengan dirinya, kecuali mungkin saat hadiah ulang tahun ya.
Mengembangkan kepemimpinan di dalam diri, berarti pula secara tekun dan konsisten untuk terus belajar. Kepemimpinan bukan soal bakat, pendidikan atau kejeniusan seseorang, tapi lebih pada Will Quotient-nya. Ketekunan dan konsistensi untuk terus belajar mengembangkan pemimpin di dalam dirinya.
Jadi, tindakan yang secara konsisten dan tekun yang perlu kita lakukan adalah menentukan tujuan pribadi secara jelas (goal setting), dan komitmen untuk tumbuh menjadi manusia seutuhnya, dan berintegritas (tubuh, pikiran, hati dan kehidupan spiritual), serta mempunyai kesadaran diri dan tahu apa kekuatan dan kelemahannya. Tindakan ini yang dilakukan terus-menerus, diselaraskan dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Pada akhirnya ada tiga kualitas yang diharapkan, yang terdapat di dalam diri seorang pemimpin, yaitu:
Hasrat meraih kesempurnaan (excellence)
Inisiatif
Kreativitas
Meraih kesempurnaan adalah kualitas diri yang berupaya meraih hasil terbaik. Bukan sekedar ikut-ikutan (me too), atau melakukan hal yang biasa-biasa saja. Hasrat ini timbul karena kepercayaan bahwa di dalam diri ini masih ada potensi yang terus perlu digali, untuk mengeluarkan semua yang terbaik.
Kualitas pemimpin berikutnya adalah inisiatif. Orang yang membuat segalanya terjadi, bukan hanya menunggu saja secara pasif. Pemimpin yang berani menghadapi kenyataan dan bersedia menjalaninya.
Seorang pemimpin harus siap mengambil inisiatif. Minimal ada tiga cara yang dapat kita lakukan untuk belajar melatih inisiatif kita:
Melayani
Berdamai
Belajar terus
Cara pertama, yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan pelayanan, servant leadership. Selalu siap melayani orang-orang yang dipimpinnya. Ia memberikan hatinya untuk menyentuh hati para pengikutnya.
Cara kedua, untuk melatih inisiatif adalah dengan mengambil langkah pertama menuju perdamaian. Ketika kita melukai perasaan orang lain, walaupun mereka adalah anak buah kita, ambillah inisiatif untuk meminta maaf kepada orang tersebut. Sebaliknya, jika orang lain yang melukai perasaan kita, tetap kita yang harus berani mengambil inisiatif untuk meluruskannya. Dalam situasi mana pun, tetap kita yang harus bergerak duluan. Memang inilah salah satu hal terberat untuk kita lakukan.
Cara ketiga, untuk melatih inisiatif adalah mencari pengetahuan. Seorang pemimpin hanyalah manusia biasa dan tidak mungkin mengetahui segala hal. Di sini dibutuhkan inisiatif untuk mencari orang-orang yang berpengetahuan dan belajar dari mereka. Seringkali kelemahan kita adalah karena merasa menjadi pemimpin dan tahu banyak hal sehingga tidak mau merendahkan hati untuk belajar dari orang lain lagi. Kita merasa harga diri kita terlalu tinggi untuk meminta bantuan orang lain. Seorang pemimpin tidak boleh bersikap seperti itu. Ia harus aktif bertanya dan mencari informasi yang ia butuhkan, untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Jadi, ia harus bersedia belajar dari orang lain.
Kualitas yang diharapkan dari seorang pemimpin berikutnya adalah kreativitas. Pemimpin berani mencoba hal-hal baru serta berbeda. Untuk memiliki semangat yang kreatif, kita perlu memiliki kerangka berpikir yang benar. Yakni terus melatih diri untuk berpikir dan mencari cara yang lebih baik dalam melakukan segala hal. Yang penting kita memiliki pikiran dan hati yang terbuka.
Yang baik adalah musuh dari yang terbaik. Bila ingin menjadi pemimpin yang ekselen, kita harus mempunyai kualitas yang tidak dimiliki oleh orang yang biasa-biasa saja. Kita harus terus belajar dan memupuk kualitas yang diharapkan untuk menjadi pemimpin yang sempurna. Yakni, hasrat meraih kesempurnaan, mengambil inisiatif, dan menjadi kreatif.
Bagaimana pendapat Anda?
Dalam tulisan berikutnya saya akan sharing tentang kompetensi pemimpin yang kedua yakni Team Leadership.
Salam hangat dan tetap semangat!
Comments